Ada seorang raja mengirim putra mahkotanya untuk berguru kepada orang tua
bijak. Sang Raja itu ingin belajar seni menjadi pemimpin sejati. Sang orang tua
bijak setuju. Resmilah kini mereka, orang tua itu dan sang pangeran, sebagai
guru dan murid. Lalu sang guru membawa muridnya ke hutan. Ia membawanya hingga
jauh ke dalam hutan. Putra mahkota ditinggal sendiri. Ia disuruh menyepi di
sana dan tidak boleh kembali ke pondok gurunya sebelum genap satu tahun.
Satu tahun pun berlalu.
Sang murid datang. Gurunya minta si murid bercerita tentang apa yang
didengarnya selama menyepi. Si murid menjawab, “Aku mendengar pipit bernyanyi,
daun-daun bergemerisik, dan rumput yang menari bergoyang.”
Hmm, rupanya masa menyepinya belum selesai, gumam sang guru. Ia pun
memerintahkan putra mahkota untuk kembali ke hutan dan berlatih mendengar lebih
teliti. Putra mahkota bingung, tapi ia mematuhi perintah gurunya. Ia bergegas
menuju hutan, menyepi, dan mulai mendengar lebih teliti.
Pertama-tama ia tak mendengar ada sesuatu yang baru. Ia berusaha semakin
teliti. Lebih sensitif. Waktu pun berjalan menjadi begitu lambat. Pelan, pelan,
dan terus perlahan, sang putra mahkota mulai belajar menyimak dengan lebih
dalam. Sampai di suatu pagi ia mendengar suara-suara sayup yang membawa nuansa
baru kepadanya.
Ia gembira. Pas waktunya tiba ia segera bergegas menemui gurunya. Ketika
gurunya bertanya ia menjawab, “Guru, saat aku mulai mendengarkan alam aku
mendengar suara yang tak terdengar. Suara kuncup-kuncup bunga yang berkembang,
suara-suara senyum rumput yang menyambut embun pagi, dan alam yang membangunkan
musim semi. Begitu indah. Senandungnya membuat aku terlena.
Sang Guru tersenyum. Ia berkata, “Nak engkau sudah mampu mendengar suara
yang tak terdengar. Engkau telah layak menggantikan ayahmu. Hanya orang-orang
yang yang mampu mendengar suara-suara hati rakyatlah yang layak menjadi
pemimpin. Merekalah yang mampu meraba setiap keluh-kesah setiap orang.”
“Mereka, mampu menyimak kata-kata yang terucap, rasa-rasa yang tak
tersalurkan, serta sedih dan tawa yang tak terungkapkan. Pada merekalah. Pada
merekalah terhadap ciri sejati seorang pemimpin. Pada teling merekalah
degup-degup jangtung rakyat dapat terus terasa getarannya.”
“Nak, ketahuilah, suatu kerajaan besar akan hancur apabila pemimpinnya
hanya mampu mendengar apa yang terlihat dan apa yang terlontarkan. Sebuah
negara dapat binasa saat para pemimpinnya tak berusaha menyelusup ke dalam relung hati rakyat dan merasakan hasrat yang ada di
dalamnya. Nak bersiaplah. Rakyatmu telah menunggu.”
Sang putra mahkota bejalan pulang menuju istana tempat ayahnya tinggal..
dan sang guru memandang kepergian murudnya itu dengan bangga. Seorang pemimpin baru
telah dibantu kelahirannya.
Teman, kisah ini bisa jadi gambaran yang sangat sesuai untuk kita semua.
Untuk kita yang sangat merindukan pemimpin dengan telinga-telinga sutra yang mampu mendengar setiap getaran hati dan hasrat rakyatnya. Semoga, Allah menurunkan
petunjuk bagi kita untuk mengenali mana pemimpin yang baik dan mana pemimin
yang tak diridhoi-Nya. Amin.